Di era
digital saat ini banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi terkenal, terutama
kaum milenials atau kids zaman now. Banyak cara
ditempuh untuk menjadi selebgram, artis Tik
Tok hingga Youtubers.
Tak peduli cara halal atau haram.
Mereka berpikir bahwa orang
terkenal itu menguntungkan. Kalau di instagram, mereka bisa mendapatkan uang
dari endorsement,
kalau dari Youtube mereka bisa mendapatkan uang dari iklan atau viewers.
Mereka pun merasa dengan
menjadi terkenal mereka dapat membawa diri, menjadi pusat perhatian,
hingga bisa memiliki banyak fans yang katanya bisa menjadi motivasi untuk
berkarya. Pokoknya dengan terkenal hidup terasa lebih mudah. Namun pada
kenyataannya tidak semua orang terkenal itu bahagia hidupnya bahkan tidak
sedikit yang malah melakukan tindakan bunuh diri.
Lalu, salahkah jika kita ingin
menjadi terkenal?
Sejarah mencatat ada seorang
yang shalih yang hidup pada zaman Nabi Muhammad Saw dengan nama yang
tidak terkenal di bumi tapi terkenal di langit. Mereka sedikit diketahui
kisahnya namun ia memiliki kemuliaan yang teramat tinggi. Dialah Uwais Al-Qarni
seorang yatim yang hanya tinggal bersama ibunya yang sudah renta.
Uwais Al Qarni disebutkan dalam
Hadits Riwayat Ahmad nomor 15377:
“Telah menceritakan kepada kami
Abu Nua’im berkata; telah menceritakan kepada kami Syarik dari Yazid bin Abu
Ziyad dari Abdurrahman bin Abu Laila berkata; ada seorang laki-laki dari
penduduk Syam berseru pada Perang Shiffin, Apakah di antara kalian ada yang
bernama Uwais Al Qarni? Mereka berkata “benar”. (Abdurrahman bin Abu Laila RA)
berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Saw, di antara para tabiin yang terbaik
dialah Uwais Al Qarni.
Redaksional dalam hadits itu
menyebutkan bahwa Uwais Al Qarni adalah seorang “tabi'in” bukan seorang
“sahabat”. Hal ini dikarenakan memang Uwais Al Qarni belum pernah bertemu
dengan Rasulullah Saw, meskipun sebenarnya Uwais Al Qarni hidup di masa
kerasulan Rasulullah Saw.
Suatu hari Uwais sangat ingin
berjumpa dengan kekasih Allah, Rasulullah Saw. Hari demi hari berlalu, dan
kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi Saw semakin dalam. Hatinya selalu
bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad Saw dan memandang wajah
beliau dari dekat ?
Ia rindu mendengar suara Nabi
Saw, kerinduan karena iman. Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang
telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega
meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi
Saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Ia pun datang
mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan mohon izin kepada ibunya agar ia
diperkenankan pergi menemui Rasulullah Saw di Madinah.
Ibu Uwais Al-Qarni walaupun
telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi
perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah
Nabi di rumahnya dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali
pulang.”
Setelah mendapatkan izin dari
ibunya untuk menemui Rasulullah di Madinah, maka Uwais pun segera berangkat. Ia
pun berhasil sampai ke depan rumah Rasulullah Saw. Namun ternyata Nabi tidak
berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran.
Uwais Al-Qarni hanya dapat
bertemu dengan Aisyah ra, istri Nabi SAW. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari
jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi SAW, tetapi Nabi SAW tidak
dapat ia jumpai.
Bergolak perasaannya ingin
menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang?
Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya
kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk
menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Maka, Uwais Al-Qarni pun terpaksa pamit
kepada Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman. Dia hanya menitipkan
salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat
mengayunkan langkahnya dengan perasaan yang amat mengharu biru.
Peperangan telah usai dan Nabi
pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Aisyah
r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais adalah anak
yang taat kepada ibunya, ia adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi,
Aisyah ra dan para sahabat tertegun.
Menurut keterangan Aisyah r.a.
memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya
sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu
lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni sang
penghuni langit kepada sahabatnya,
“Kalau kalian ingin berjumpa
dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak
tangannya.”
Sesudah itu Nabi memandang
kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khathab seraya berkata, “Suatu ketika
apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah
penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu berlalu, Uwais Al Qarni
wafat dengan berita wafatnya yang menggemparkan Kota Yaman. Hal itu karena
walaupun ia tak terkenal di bumi namun saat hari kematiannya, begitu banyak
orang yang datang untuk mengurus jenazahnya.
Suatu riwayat mengatakan bahwa
mereka ialah para malaikat yang Allah utus untuk memuliakan Uwais Al-Qarni di
hari kematiannya. Walau pada akhirnya, Uwais Al Qarni tidak pernah bertemu
Rasulullah Saw di dunia namun Insya Allah ia bisa bertemu Rasulullah di surga
kelak.
Dari kisah Uwais kita dapat
belajar, bahwa tidak buruk bahkan menjadi tidak penting jika kita tidak
terkenal diantara para penduduk bumi. Namun kiranya kita perlu khawatir bila
nama kita pun tidak bisa dikenal langit.
Karena sesungguhnya kemuliaan
yang hakiki ialah saat tidak ada hijab antara seorang hamba dengan Rabbnya.
Siapakah kiranya yang tidak ingin Allah Swt umumkan nama kita di hadapan para
penghuni langit hingga tercurah ruah karunia dan kemuliaan Allah untuk kita di
negeri kekal Akhirat kelak?
Kisah lain dari Uwais al Qarni adalah senantiasa memenuhi
keinginan ibunya. Sang ibu yang sudah tua sangat ingin sekali pergi haji.
Padahal dengan kondisi ketika itu yang tak ada uang, Uwais merasa berat untuk
memenuhi keinginan sang Ibu.
Dari Yaman, perjalanan ke Makkah sangatlah jauh. Melewati
padang tandus yang panas. Orang-orang yang pergi ke Makkah biasanya menggunakan
unta untuk membawa banyak perbekalan.
Uwais terus berpikir untuk mencari jalan keluar agar
ibunya bisa berangkat ke Tanah Suci. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu dan
Uwais membuat kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong
anak lembu itu naik turun bukit. Banyak orang yang menganggap aneh tindakan
Uwais tersebut.
Setelah
8 bulan berat Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram. Saat tiba musim haji,
Uwais merasa otot-ototnya sudah kuat dan siap mengangkat beban berat. Dia pun
menggendong sang Ibu dari Yaman ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.