Selasa, 20 Oktober 2020

Kisah Uwais al Qarni, Gendong Ibu dari Yaman ke Mekah untuk Pergi Haji



Di era digital saat ini banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi terkenal, terutama kaum milenials atau kids zaman now. Banyak cara ditempuh untuk menjadi selebgram, artis Tik Tok hingga Youtubers. Tak peduli cara halal atau haram.

Mereka berpikir bahwa orang terkenal itu menguntungkan. Kalau di instagram, mereka bisa mendapatkan uang dari endorsement, kalau dari Youtube mereka bisa mendapatkan uang dari iklan atau viewers.

Mereka pun merasa dengan menjadi terkenal mereka dapat membawa diri, menjadi pusat perhatian,  hingga bisa memiliki banyak fans yang katanya bisa menjadi motivasi untuk berkarya. Pokoknya dengan terkenal hidup terasa lebih mudah. Namun pada kenyataannya tidak semua orang terkenal itu bahagia hidupnya  bahkan tidak sedikit yang malah melakukan tindakan bunuh diri.

Lalu, salahkah jika kita ingin menjadi terkenal?

Sejarah mencatat ada seorang yang shalih yang hidup pada zaman Nabi Muhammad  Saw dengan nama yang tidak terkenal di bumi tapi terkenal di langit. Mereka sedikit diketahui kisahnya namun ia memiliki kemuliaan yang teramat tinggi. Dialah Uwais Al-Qarni seorang yatim yang hanya tinggal bersama ibunya yang sudah renta. 

Uwais Al Qarni disebutkan dalam Hadits Riwayat Ahmad nomor 15377:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nua’im berkata; telah menceritakan kepada kami Syarik dari Yazid bin Abu Ziyad dari Abdurrahman bin Abu Laila berkata; ada seorang laki-laki dari penduduk Syam berseru pada Perang Shiffin, Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais Al Qarni? Mereka berkata “benar”. (Abdurrahman bin Abu Laila RA) berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Saw, di antara para tabiin yang terbaik dialah Uwais Al Qarni.

Redaksional dalam hadits itu menyebutkan bahwa Uwais Al Qarni adalah seorang “tabi'in” bukan seorang “sahabat”. Hal ini dikarenakan memang Uwais Al Qarni belum pernah bertemu dengan Rasulullah Saw, meskipun sebenarnya Uwais Al Qarni hidup di masa kerasulan Rasulullah Saw.

Suatu hari Uwais sangat ingin berjumpa dengan kekasih Allah, Rasulullah Saw. Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi Saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad Saw dan memandang wajah beliau dari dekat ?

Ia rindu mendengar suara Nabi Saw,  kerinduan karena iman. Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah.

Akhirnya, kerinduan kepada Nabi Saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Ia pun datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan mohon izin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah Saw di Madinah.

Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”

Setelah mendapatkan izin dari ibunya untuk menemui Rasulullah di Madinah, maka Uwais pun segera berangkat. Ia pun berhasil sampai ke depan rumah Rasulullah Saw. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran.

Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Aisyah ra, istri Nabi SAW. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi SAW, tetapi Nabi SAW tidak dapat ia jumpai.

Bergolak perasaannya ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lekas pulang”.

Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Maka, Uwais Al-Qarni pun terpaksa pamit kepada Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan yang amat mengharu biru.

Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais adalah anak yang taat kepada ibunya, ia adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi, Aisyah ra dan para sahabat tertegun.

Menurut keterangan Aisyah r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni sang penghuni langit kepada sahabatnya,

“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Sesudah itu Nabi memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khathab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”

Waktu berlalu, Uwais Al Qarni wafat dengan berita wafatnya yang menggemparkan Kota Yaman. Hal itu karena walaupun ia tak terkenal di bumi namun saat hari kematiannya, begitu banyak orang yang datang untuk mengurus jenazahnya.

Suatu riwayat mengatakan bahwa mereka ialah para malaikat yang Allah utus untuk memuliakan Uwais Al-Qarni di hari kematiannya. Walau pada akhirnya, Uwais Al Qarni tidak pernah bertemu Rasulullah Saw di dunia namun Insya Allah ia bisa bertemu Rasulullah di surga kelak.

Dari kisah Uwais kita dapat belajar, bahwa tidak buruk bahkan menjadi tidak penting  jika kita tidak terkenal diantara para penduduk bumi. Namun kiranya kita perlu khawatir bila nama kita pun tidak bisa dikenal langit.

Karena sesungguhnya kemuliaan yang hakiki ialah saat tidak ada hijab antara seorang hamba dengan Rabbnya. Siapakah kiranya yang tidak ingin Allah Swt umumkan nama kita di hadapan para penghuni langit hingga tercurah ruah karunia dan kemuliaan Allah untuk kita di negeri kekal Akhirat kelak?

Kisah lain dari Uwais al Qarni adalah senantiasa memenuhi keinginan ibunya. Sang ibu yang sudah tua sangat ingin sekali pergi haji. Padahal dengan kondisi ketika itu yang tak ada uang, Uwais merasa berat untuk memenuhi keinginan sang Ibu.

Dari Yaman, perjalanan ke Makkah sangatlah jauh. Melewati padang tandus yang panas. Orang-orang yang pergi ke Makkah biasanya menggunakan unta untuk membawa banyak perbekalan.

Uwais terus berpikir untuk mencari jalan keluar agar ibunya bisa berangkat ke Tanah Suci. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu dan Uwais membuat kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. Banyak orang yang menganggap aneh tindakan Uwais tersebut.

 Setelah 8 bulan berat Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram. Saat tiba musim haji, Uwais merasa otot-ototnya sudah kuat dan siap mengangkat beban berat. Dia pun menggendong sang Ibu dari Yaman ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Di tanah suci, Uwais al Qarni dengan tegap menggendong ibunya wukuf di Arafah dan Thowaaf di Kakbah. Di depan Kakbah air mata sang Ibu tumpah. Uwais pun berdoa, "Ya Allah, ampuni semua dosa ibu."